Amerika Serikat menyelenggarakan pemilihan presiden dan wakil presiden setiap empat tahun melalui sistem dengan pemilih memilih para elektor yang kemudian menentukan kandidat melalui dewan konstitusional yang disebut Kolese Elektoral.Â
Proses ini diatur oleh Pasal II dari Konstitusi AS, yang memberikan wewenang kepada badan legislatif negara bagian untuk menentukan cara pemilihan yang akan digunakan para pemilih. Undang-undang terbaru di sebagian besar negara bagian, termasuk Florida akan memberikan seluruh suara elektoral kepada kandidat dengan jumlah suara terbanyak (pemenang pilpres) di negara bagian tersebut. Selama pilpres tahun 2000 di Florida, George W. Bush menang dengan 48,8% suara populer, memimpin dengan selisih hanya sebanyak 1.784 suara.Â
Marjin tersebut kurang dari 0,5% dari suara yang diberikan, sehingga perlu dilakukan penghitungan ulang dengan mesin otomatis sesuai ketentuan pada undang-undang. Pada tanggal 10 November 2000, dengan penghitungan ulang yang tampaknya telah selesai di semua kecuali satu daerah, marjin kemenangan Bush menurun menjadi 327 suara.
Meskipun beberapa daerah tidak menyelesaikan penghitungan ulang dengan mesin sebagaimana diwajibkan secara hukum, tidak ada tantangan resmi yang diajukan oleh kampanye Gore. Undang-undang pemilu Florida mengizinkan kandidat untuk meminta penghitungan ulang secara manual di wilayah tertentu, dan Al Gore meminta penghitungan ulang secara manual di empat wilayah yang didominasi Partai Demokrat dan diketahui berpotensi mendukungnya.Â
Akan tetapi, tantangan muncul karena tenggat waktu sertifikasi untuk pengembalian hasil pemilu hanya tujuh hari, dan beberapa daerah tidak dapat memenuhi tenggat waktu tersebut karena berbagai alasan.Â
Sekretaris Negara Bagian, Katherine Harris diberi keleluasaan untuk menetapkan kriteria keterlambatan dalam pengajuan dan menolak permintaan perpanjangan, serta mengumumkan niatnya untuk mengesahkan hasilnya pada tanggal 18 November 2000 setelah menerima pengembalian resmi surat suara dari pemilih di luar negeri. Namun, gugatan hukum dan banding menyebabkan penundaan, sehingga Mahkamah Agung Florida akhirnya mengizinkan penghitungan ulang manual untuk dilanjutkan dan menunda sertifikasi hingga 26 November 2000.
Reaksi dan Dampak Keputusan Bush v. Gore dalam Politik AS
Bush v. Gore, yang dianggap sebagai kasus yang menimbulkan kontroversi dan perdebatan yang signifikan, mendapatkan banyak tinjauan kritis dari pakar hukum dan kritikus politik. Inti perdebatannya meliputi keputusan SCOTUS mengenai penyelesaian pelanggaran Klausul Perlindungan Setara. Daripada memerintahkan penghitungan ulang baru seperti yang diminta oleh Gore, SCOTUS malah menghentikan proses pemilu.Â
Keputusan ini didasarkan pada penafsiran pendapat Mahkamah Agung Florida mengenai batas waktu 12 Desember 2000 dan manfaat dari provisi hukum "safe harbor", yang masih menjadi kontroversi dan perdebatan di kalangan pakar hukum tersebut. Para pengkritik berpendapat bahwa keterlibatan SCOTUS, khususnya para hakim yang berhaluan konservatif, memiliki motivasi politik dan menimbulkan pertanyaan mengenai ketidakberpihakan lembaga peradilan.Â
Dampak keputusan tersebut terhadap kepercayaan publik terkait sistem peradilan dan integritas pemilu juga masih terus menjadi subyek analisis dan kritik, dan beberapa pihak berpendapat bahwa SCOTUS telah melewatkan kesempatan untuk mengatasi permasalahan yang lebih luas dalam proses pemilu, yang pada akhirnya meningkatkan skeptisisme dan kritik terhadap peran SCOTUS. dalam menyelesaikan perselisihan pemilu.
Editorial di surat kabar terkemuka di AS juga sangat kritis terhadap keputusan tersebut. Tinjauan yang dilakukan oleh The Georgetown Law Journal menemukan bahwa surat kabar terkemuka di AS, berdasarkan sirkulasi, telah menerbitkan 18 editorial yang mengkritik keputusan tersebut dibandingkan dengan hanya enam yang mendukung/memuji.Â