Mohon tunggu...
Krisanti_Kazan
Krisanti_Kazan Mohon Tunggu... Guru - Learning facilitator in SMA Sugar Group

Mencoba membuat jejak digital yang bermanfaat dan bercita² menghasilkan karya buku solo melalui penerbit mayor. (Learning facilitator di Sugar Group Schools sejak 2009, SMA Lazuardi 2000-2008; Guru Penggerak Angkatan 5; Pembicara Kelas Kemerdekaan di Temu Pendidik Nusantara ke 9; Pemenang Terbaik Kategori Guru Inovatif SMA Tingkat Provinsi-Apresiasi GTK HGN 2023; Menulis Buku Antologi "Belajar Berkarya dan Berbagi"; Buku Antologi "Pelita Kegelapan"; Menulis di kolom Kompas.com; Juara II Lomba Opini Menyikapi Urbanisasi ke Jakarta Setelah Lebaran yang diselenggarakan Komunitas Kompasianer Jakarta)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Fenomena "Thinking Fast" dan "Thinking Slow" di Media Sosial

23 April 2024   16:43 Diperbarui: 24 April 2024   07:04 703
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Media Sosial (Pixabay/Geralt)

Salah satu dampak positif dari "thinking slow" di media sosial adalah kemampuannya untuk mencegah penyebaran informasi palsu atau hoaks.

Dengan mengambil waktu untuk memverifikasi sumber informasi dan melakukan penelitian tambahan, individu dapat menghindari jatuh ke dalam perangkap informasi yang tidak akurat atau tidak dapat dipercaya.

Selain itu, "thinking slow" juga memungkinkan terjadinya diskusi yang lebih mendalam dan konstruktif di media sosial. Ketika individu mengambil waktu untuk mempertimbangkan berbagai sudut pandang dan argumen sebelum memberikan tanggapan, hal ini dapat menghasilkan dialog yang lebih bermakna dan penuh pengertian.

Dampak dari kurangnya partisipasi dalam "Thinking Slow" adalah kurangnya diskusi yang bermakna dan konstruktif di media sosial. Tanggapan yang instan dan emosional sering menggantikan dialog yang mendalam dan penuh pengertian. Ini dapat memperkuat polarisasi dan konflik di dalam masyarakat.

Meningkatkan Literasi di Era Digital

Pentingnya literasi di era digital tidak bisa dilebih-lebihkan. Literasi tidak hanya mencakup keterampilan teknis dalam menggunakan media sosial, tetapi juga kemampuan untuk mengenali informasi yang dapat dipercaya, mengkritisi secara kritis, dan berpikir secara reflektif.

Dengan meningkatkan literasi, individu dapat lebih mampu menavigasi dunia informasi yang kompleks dan memainkan peran aktif dalam membentuk masyarakat yang lebih cerdas dan terinformasi.

Fenomena "Thinking Fast" dan "Thinking Slow" memiliki dampak yang signifikan dalam literasi di era digital. Sementara "Thinking Fast" memungkinkan respons instan dan penyebaran informasi yang cepat, "Thinking Slow" penting untuk analisis mendalam dan pertimbangan matang.

Dengan meningkatkan literasi di media sosial dan mempromosikan pemikiran reflektif, kita dapat mengatasi tantangan yang dihadapi dalam era informasi yang terus berkembang ini.

Penting untuk diingat bahwa baik "thinking fast" maupun "thinking slow" memiliki peran yang penting dalam kehidupan sehari-hari. "Thinking fast" dapat membantu dalam situasi-situasi di mana respons cepat diperlukan, sementara "thinking slow" diperlukan untuk membuat keputusan yang lebih besar dan kompleks. Yang penting adalah mencapai keseimbangan yang tepat antara keduanya, terutama di lingkungan online yang sering kali dipenuhi dengan informasi yang beragam dan cepat berubah.

Dengan menggabungkan keduanya, individu dapat mengembangkan literasi digital yang lebih kuat dan membuat kontribusi yang lebih positif dalam interaksi online mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun